Senin, 05 Desember 2011

Ribuan Kilometer dari Muara Tae

Tak cukup ratusan kilometer jarak yang ia tempuh dalam mencari dukungan untuk menyelamatkan kawasan adat Muara Tae.  Pak Asuy pun rela bepergian ke tempat-tempat jauh berjarak ribuan kilometer dari kampungnya.

Sebuah perusahaan kelapa sawit tanpa permisi membongkar lahan belukar milik warga Muara Tae.  Sebulan lebih sudah upaya penggusuran ini dilakukan oleh PT Munte Waniq Jaya Perkasa, yang dimiliki oleh TSH Resources Bhd  asal Malaysia.  Kawasan adat di Muara Tae ini digusur paksa hingga nyaris terjadi “perang” antar warga Dayak Benuaq.  Sejumlah preman asal kampung sebelah (Muara Ponaq) mengklaim lahan itu sebagai milik mereka lalu menjualnya kepada perusahaan sawit.  Kontan saja warga Muara Tae sebagai pemilik waris di lahan adat itu berang.  Syukurlah perang tersebut gagal terjadi, karena para pemuka masyarakat Muara Tae pun dapat menurunkan emosi warganya.

Karena kejadian ini, lalu beberapa orang warga Muara Tae berinisiatif mengadukan masalah kepada para wakil rakyat provinsi Kaltim di Samarinda.  Pak Asuy bersama para warga akhirnya berhasil mendapat dukungan politis dari para anggota DPR provinsi Kaltim.  Selepas pengaduan ke Samarinda, Pak Asuy lalu berangkat ke Bogor dan Jakarta dengan tujuan serupa.  Ia mengadukan masalah penggusuran lahan ini pada sejumlah LSM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) serta Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Sumpah Pemuda Muara Tae














Tulisan ini disalin dari blog Ghonjess Panuluh yang diposting pada tanggal 28 Oktober 2011.... ketika Sumpah Pemuda sedang diperingati di negeri ini...

Hari ini peringatan Sumpah Pemuda... menurut seorang dosen sejarah, ..."mereka dulu hanyalah sekelompok 'elit' pemuda yang melakukan konggres,... merumuskan apa yang sebenarnya sudah ada di Nusantara sejak abad ke 15... jadi sebenarnya tidak terlalu penting untuk dicatat dalam sejarah"

Yang musti tercatat dalam sejarah
Hari ini... sekarang... 28 Oktober 2011.. Para pemuda Muara Tae sedang berhadap-hadapan dengan buldozer perusahaan, dengan aparat, dengan orang-orang yg sudah ditaklukan uang.. Pemuda Muara Tae sedang mempertahankan hutan, tanah, kedaulatan dan martabat dari jajahan korporasi dengan peluh keringat serta keberanian mempertaruhkan jiwa... kan kucatat ini sebagai sebuah peristiwa yang tertanda.... tentang perjuangan anak-anak bangsa...

Kami suku Dayak Benuaq (kampung Muara Tae – kampung Ponaq):
Adalah bersaudara dan senasib
Kami punya adat istiadat yang satu, bahasa yang satu
Kami hidup diatas tanah adat kami yang jelas batasnya sejak turun temurun
Kami sejak turun temurun hidup rukun dan damai,
menikah satu sama lain serta tolong menolong
Kami tidak pernah berselisih karena batas kampung, tanah, hutan, lahan dan warisan
Tapi kenapa ketika PT.Munte Waniq Jaya Perkasa hadir di tanah adat kami, muncul
Masalah antara kami??????
Tetapi kami tidak mau diadu domba oleh PT.Munte Waniq Jaya Perkasa!!!!
Dayak Benuaq tetap bersaudara.*

* Sumber: web site Telapak

Jumat, 30 September 2011

Jurig Muara Tae

Muara Tae memang selalu menyediakan banyak cerita dan kejadian.  Hampir setiap orang yang ditugaskan membantu perjuangan masyarakat adat di sana mengalami berbagai kejadian. Kejadiannya pun begitu beragam, tak hanya cerita sedih, namun juga lucu, penuh semangat perjuangan bahkan ada juga yang menyeramkan. 

Naah dalam posting kali ini, kami mencoba menyajikan sebuah cerita personal mengenai keseraman dan suasana menakutkan yang rata2 dialami para sukarelawan yg ditugaskan di Muara Tae.  Cerita personal ini sepenuhnya dituliskan oleh salah seorang sukarelawan asal Bogor dalam blog pribadinya dengan judul Hantu Besi Meresahkan Muara Tae.

===================


Hari Jum’at...  “bagaimana tidur semalam, ada sesuatu gak?” tanya pak Asuy. Pertanyaan yang mengagetkan. Karena seolah beliau tahu apa yang terjadi semalam. “baik baik saja pak” jawabku spontan. “bagian pojok pondok ini terlalu maju” ucapnya sambil menunjuk ke tempat ku tidur semalam. “ini lintasan tempat mereka lewat... kita menutupi jalan mereka” tegasnya. “siapa mereka pak?” tanyaku mencari penegasan. “ya mereka.. hantu yang tinggal di hutan ini” jawab beliau datar tentang dunia lain.

Setahuku memang di kalangan masyarakat sini relatif mempercayai adanya kehidupan gaib. Yang ada pada mahluk hidup dan juga benda mati. Pada manusia, binatang, pohon besar, juga pada mandau, batu besar, gunung, pertigaan sungai,  atau yang lebih kompleks lagi seperti adanya perkampungan gaib. Begitu kelihatan erat hubungan antara mereka dengan kosmos. Terlihat dari adanya aturan dan norma yang mengatur hubungan mereka dengan hal-hal yang bersifat metafisik. Pelanggaran akan aturan akan ditanggapi serius. Karena dianggap dapat merusak keharmonisan hidup bersama. Hanya aku agak terkejut atas pertanyaan diatas... karena peristiwa semalam... wuiih.

Hutan Muara Tae...  malam jum’at...  bulan purnama... sudah beberapa hari ini kami berdua tidur di pondok jaga di tengah hutan. Kali ini tidak ditemani warga karena mereka sedang ada kesibukan di kampung. Aku coba tidur di pojok pondok bagian luar yang tidak berdinding, sementara temanku memilih tidur di dalam. Cahaya rembulan sebagian menerobos rimbunnya dedaunan, menambah dramatis siluet hitam batang pepohonan. Menciptakan suasana temaram dengan berbagai pola bayangan yang halusinatif. Merangsang memori otak akan pengalaman rasa takut tentang dunia metafisis yang abstrak. Membuatku terus terjaga... tiba tiba secara reflek aku berpaling ... ada suara yang begitu nyata di sela ranting dan dedaunan... ada sekelebat bayangan yang melayang turun dari atas pohon.. ... Juriiiiig...  teriakku keras...

 

Sabtu, 27 Agustus 2011

Kemenangan dan Kekalahan (kecil)

Kemenangan-kemenangan kecil atau small victories:

1. Rencana pembayaran Rp 600 ribu per hektar oleh PT Borneo Surya Mining Jaya dalam rangka ekspansi perkebunan sawit ke Muara Tae pada tanggal 25 Agustus 2011 telah berhasil DIGAGALKAN (meskipun mungkin sementara).

Analisis: Manajer perusahaan yang bersangkutan rupanya ngeri melihat ada tikus got di hutan Muara Tae. Selain itu konfrontasi langsung oleh Pak Petinggi, didampingi bodyguard tentunya, membuat mereka berpikir bahwa ini belum saatnya. Ada kemungkinan lain sih, meskipun agak terlalu dipaksakan, yaitu bahwa mengingat mau lebaran maka dana cash perusahaan dipakai untuk bayar THR dulu.

2. Lenyapnya PT Gemuruh Karsa. Alamat sesuai yang tertera di dokumen-dokumen resmi perusahaan sudah tidak ada. Ini adalah kemenangan karena berhasil mengubah sebuah perusahaan tambang yang biasanya seram menjadi fiktif. Kepastian lenyapnya alamat, kantor, dan orang-orang perusahaan ini didapatkan melalui penyelidikan langsung dari rumah ke rumah di ibukota kabupaten pada khususnya dan di Kutai Barat pada umumnya.



Jumat, 26 Agustus 2011

Complicated = ruwet = rumit ???


Seperti status relationship di facebook aja: it's complicated. Misalnya begini: Camat mengirim surat lebih dari sebulan lalu. Surat itu menetapkan beberapa orang sebagai pejabat sementara Badan Perwakilan Kampung. Bisik-bisiknya, penetapan ini adalah memo katabelece langsung dari Bupati. Penetapan ini, menurut kejujuran Camat sendiri, bertentangan dengan ketentuan peraturan yang ada. Kemudian warga dan Petinggi Muara Tae, yang tidak sreg dengan penetapan Pjs. BPK itu, menyelenggarakan pemilihan BPK yang menghasilkan 5 anggota BPK, dimana satu di antaranya adalah salah satu dari 5 Pjs. yang ditetapkan Camat tadi. Petinggi kemudian bersurat dengan Camat untuk minta SK penetapan BPK. Camat tadi siang mengirim surat yang menolak BPK pilihan warga ini dan meminta dilakukan pemilihan ulang dengan melibatkan Pak Victor Menong, jagoannya Bupati di Muara Tae. Jadi sekarang Pak  Petinggi Muara Tae akan membaas surat balasan dari Camat itu, yang akan menolak surat penolakan Camat itu atas pemilihan BPK oleh warga sendiri yang menolak BPK yang ditetapkan Camat. Semua ini tentu saja pangkal soalnya adalah penolakan Pak Petinggi dan mayoritas warga Muara Tae terhadap perusahaan tambang dan kelapa sawit.


Kamis, 25 Agustus 2011

Award-winning Filmmaker ...


Kali ini di Muara Tae aku berkesempatan mengamati dari dekat seorang award-winning filmmaker saat sedang berkarya. Seminggu pertama dia lebih banyak mengumpulkan inspirasi dan menyerap hakikat situasi dengan tidur, makan, tidur, makan dan secara umum bersenang-senang. Pengamatanku ini dikonfirmasi oleh banyak ibu-ibu dan kakak-kakak petugas dapur di rumah Pak Asuy. Kemudian si award-winning filmmaker masuk ke hutan dan menjelajahi kawasan dan menyusuri sungai. Agendanya rupanya adalah mencari udang dan ikan-ikan kecil, memasang jerat untuk binatang hutan untuk makan malam, mencuci dan merawat rambut panjangnya, dan menetapkan titik-titik kordinat untuk, maaf, boker.

Saking herannya pernah aku bertanya, "Nanang, kok itu kamera seharian duduk aja di tripod dan gak dipegang-pegang?" Si award-winning filmmaker menjawab, "Oo...itu lagi time-lapsed filming, boss." Hmmm...aku berkata dalam hati bahwa aku memang belum pernah dengar istilah itu tapi aku yakin aku dikibuli aja nih.

Mereka (dayak) Terpaku


Dua orang Dayak terpaku melihat lubang tambang yang menganga lebar dihadapan mereka, baru kali ini mereka bisa melihat langsung dalam areal tambang PT.Gunung Bayan yang beroperasi selama kurang lebih 15 tahun di kampung mereka. kawasan dengan tanda "Dilarang Masuk Bagi Yang Tidak Berkepentingan" itu ternyata mampu membuat lutut mereka gemetar.... bagaimana tidak?! Luasan bukaan tambangnya bisa menampung seandainya seluruh rumah dan bangunan di kampung Muara Tae di kumpul dan dibuang kedalam lubang besar yang menganga itu.... Miris membayangkan kelak jika perusahaan gabungan milik swasta nasional dengan malaysia ini kelak pergi meninggakan kampung mereka, maka yang tinggal hanya lubang besar menganga....

15 tahun mereka telah menghirup debu dan meminum air beracun, berebut tanah dengan pendatang, dan berkelahi antar saudara karena urusan ganti rugi lahan .... 15 tahun berlalu tanpa ada perubahan menuju masyarakat sejahtera seperti yang di janjikan dulu.

Kini mereka memandang lubang itu dengan ternganga .... dalam hati mungkin berpikir "memang kita menyiapkan lubang untuk masa depan kita sendiri jika kita tergiur janji-janji yang sama dikemudian hari"

Posting ini dituliskan oleh Margaretha Seting Beraan

Rabu, 24 Agustus 2011

Puisi Potret Pembangunan


Mencium bau kencing orok di kaki langit,
Melihat kali coklat menjalar ke lautan,
Dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.
Lalu kini ia dua penggalah tingginya.......
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini
Memeriksa keadaan.

Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna?
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga?
Dan kita di sini bertanya : Maksud baik saudara untuk siapa ?

Orang berkata Kami punya maksud baik
Dan kita bertanya : Maksud baik saudara untuk siapa ?

Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.



Azizterix???

Entah kenapa dalam perjalanan yang panjang di poros Samarinda-Muara Tae kali ini pikiranku tak bisa lepas dari Aziz. Bukan karena kangen pastinya karena baru ketemu kemarin. Pastinya juga bukan karena hutang karena sudah kulunasi. Mungkin karena ini bulan suci Ramadhan sehingga urusannya jadi ke religius-religius gitu.

Nah, Aziz ini sudah bergelar Haji Kecil, sudah beribadah Umroh ke Mekah. Jadi Aziz ini belum pernah ke London atau Paris atau New York atau Bangkok atau Tiongkok (kalau Rengas Dengklok sih udah kali), tapi dia sudah ke Mekah, mungkin yang paling penting dari semua kota itu. Jadi dia sekarang bergelar Haji Kecil padahal dia tidak punya gelar Drs., Ir., DR., SH, MBA, MM, atau SPi, SPet, SHut, atau apapun.

Memang Haji Kecil sudah paling pas juga sih dengan postur tubuhnya. Ini hal berikutnya yang membuatku memikirkan Aziz dalam perjalanan ke Muara Tae ini, soal pisik. Yang paling sesuai dengan gambaran Asterix ya dia ini lah. Kecil, bengil, tengil, siap kelahi dan ditugaskan ke manapun. Begitulah si Azizterix ini. Plus kualitas-kualitasnya yang lain, seperti misalnya dengan gajinya yang kecil sebagai pengelola T-Port dulu dan beberapa tahun terakhir sebagai sekretaris BPT kok bisa dia pergi ke Mekah, ngasih aku utangan untuk beli rumah, kumintain rokok setiap hari (Sampoerna Kretek).

Senin, 22 Agustus 2011

Aku Berangkat ke Muara Tae (lagi) yaa!


Aku pergi dulu yaa ...! Aku berangkat ke Muara Tae malam ini.  Bergabung dengan Alex dan Nanang di sana.  Kamu mau titip pesen apa buat orang2 di sana?
Weleh-welehh ... hebat sekali kawan kita ini.  Rupanya semangat perjuangan dari para warga Pesuli Lati Tana Adat Takaaq di Muara Tae sana sudah menular menyeluruh menjadi tekad yang kuat.  Tekad kuat utk tanpa henti membantu saudara kita yang sedang berjuang di sana.

Kalau tidak salah, kawan kita Ruwi ini sudah ke Muara Tae untuk yang kesekian kalinya.  Sebelum bulan puasa kemarin dia juga sudah berkunjung ke sana. 

Kamis, 18 Agustus 2011

Merdeka di Muara Tae?

Hari ini adalah sehari setelah puncak perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-66.  Sebuah perayaan akbar di seluruh penjuru negeri yang konon dicita-citakan sebagai negeri yang "gemah ripah loh jinawi karto raharjo".  Negeri yang makmur sejahtera dan tentunya memberi kesejahteraan pada seluruh rakyatnya di mana pun mereka berada.

Semangat merah-putih yang dikumandangkan pada minggu kedua di bulan Agustus ternyata juga terasa di sebuah kampung kecil di emper jalan poros Samarinda-Melak, di sudut Kalimantan Timur sana,  Kampung bernama Muara Tae ternyata masih merasa menjadi bagian republik ini.  Mereka juga masih punya semangat kemerdekaan yg tak kunjung padam.  Tapi apa memang sama semangat kemerdekaan mereka dengan kita umumnya yg berdomisili di perkotaan?

Sabtu, 13 Agustus 2011

Documented by Gecko and Tiquzgot


Ini sebuah cerita biasa sebenarnya.  Namun jadi terasa agak berbeda karena ini bukan hanya tentang kepergian sebuah tim dari Bogor menuju Kampung Muara Tae.  Tim ini bukanlah tim biasa-biasa.  Kalau mau sedikit "lebay" (berlebihan) boleh juga tim ini dijuluki tim dokumentasi profesional. 

Tim beranggotakan dua orang yang selama ini telah dikenal malang-melintang di dunia dokumentasi media.  Yang satu punya keahlian memotret secara profesional serta gemar membuat goresan gambar tangan berbentuk kartun dengan nuansa lelucon segar.  Sementara yang satunya lagi adalah seorang anak muda penggemar kamera video yang dengan kemampuannya selalu saja berhasil menempatkan posisinya sebagai pembuat filem profesional.  Tak hanya profesional, anak muda ini bahkan telah mampu menempatkan posisinya di kancah perfileman dokumenter antar bangsa.

Sabtu, 09 Juli 2011

Babakan: Tawon Bawa Gorilla


Beruntunglah Gorilla. Sebelum ia benar-benar jatuh ketika ditinggal Capung, ada Bapak Tawon yang membawanya jauh lebih tinggi lagi untuk terbang. Kini ia belajar. Ia mempelajari cara untuk memperbesar sayap, seiring dengan badannya yang menggempal, biar tetap bisa terbang, kalaupun kelak Sang Bapak Tawon sudah tiada.

“Hey! Ayo ikut gue ke kampong!”

“Siaaaapp …! Ajari saya berteman dengan mereka ya?”

Tawon mengangguk setuju pada permintaan Gorilla. Lalu meluncurlah mereka ke kampungnya suku bangsa Dayak Banuaq Ohokng Sanggokng. Ini adalah kali pertamanya bagi Gorilla, tapi yang kesekian kalinya untuk Tawon.

Jumat, 08 Juli 2011

Babakan: Mesin Listrik Rusak

Seperti posting sebelumnya, ini posting ini disadur dari blog Babakanblog juga.
Silakan membaca ...


BIS JEMPUTAN SUDAH datang, tepatnya ia adalah truk besar yang disulap menjadi angkutan karyawan. Tentu inilah kewajiban perusahaan pada para pekerjanya. Tapi bagaimana kewajiban mereka bagi warga masyarakat sekitar?

“Kali ini urusannya sama Gunung Bayan!”

Wajah Masrani mengeras saat bilang itu. Urat lehernya tertarik. Matanya membesar seiring dengan alis matanya yang ikutan naik. Intonasi suaranya tinggi, meski volumenya sedang-sedang saja. Kejengkelan terpancar dari situ.

Kamis, 07 Juli 2011

Babakan: Selamat Datang (lagi)

Karena merupakan blog bagi para pendukung inisiatif penyelamatan hutan dan tanah adat di Muara Tae, maka blog ini pun menyadur berbagai tulisan terkait dengan perjuangan ini.  Nahh .... salah satu referensi dari blog ini berasal dari seorang kawan yg aktif menuliskan soal Muara Tae di Babakanblog.

Berikut posting yang menceritakan soal ancaman baru bagi Kampung Muara Tae dari Babakanblog.  Selamat menikmati ...

---------------------------------------------


SELAMAT DATANG di Muara Tae. Mari ucapkan itu pada perusahaan penambang batubara yang baru menginjakkan kaki di kampung ini.

Selasa, 05 Juli 2011

Melapor malah dipelototin ...

Minggu, 03 Juli 2011

MUARATEORIUM

Hari ini redaksi Lati Tana Adat Takaaq menerima sebuah laporan langsung dari Ruwi di Muara Tae.  Berikut laporannya:

=======================================

Meresmikan Pondok Jaga Utak Melinau

Tepat di hari ini, Minggu 3 Juli 2011, sehari sebelum hari kemerdekaan Amerika Serikat, para warga kampung Muara Tae berkumpul di sebuah kawasan hutan kecil yang disebut Utak Melinau.  Sesuai namanya, "utak" berarti kepala dan "melinau" adalah nama sungai kecil yang mengalir di wilayah Muara Tae.  Maka kawasan hutan kecil tersebut adalah sebuah kawasan penting bagi kehidupan di kampung itu karena merupakan daerah hulu sungai, asal muasal munculnya air yang menjadi urat nadi kehidupan orang Dayak Benuaq.

Senin, 27 Juni 2011

Ada Sriwang Asia dan Kuau Kerdil

Siapa sangka hutan Muara Tae ternyata memiliki keanekaragaman jenis yang sangat tinggi.  Hutan2 kecil yang tersisa di sana menyimpan kekayaan alam yang tak ternilai harganya.  Jenis2 pohon dan tumbuhan penting lain cukup mudah dijumpai di sana.  Mulai dari beragam jenis pohon seperti kelompok Meranti dan Bengkirai (Shorea spp), serta Kapur (Dryobalanops spp, ) yang dikenal sebagai jenis kayu komersial kelas satu, sampai jenis kayu yang teramat keras dan nyaris punah seperti Ulin (Eusideroxylon zwageri).  Tak hanya itu, jenis2 tumbuhan lain yg dikenal bernilai sangat tinggi seperti Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) dan Gaharu (Aquilaria moluccensis) pun dapat dijumpai di kawasan hutan tersebut.

Minggu, 19 Juni 2011

Belajar berbuat dan merasakan ...

Bila kita terbiasa hidup kota, maka tentu sulit membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang kampung.  Terlebih jika membayangkan hidup di sebuah kampung Dayak Benuaq di Kalimantan Timur sana.  Kampung yang sekalipun masih (terasa) tenang, namun saat justru sedang bersiap untuk menghadapi ancaman kehancuran oleh investasi besar pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit.

Dua orang teman dari Jawa Barat, beberapa waktu lalu datang berkunjung ke kampung ini (baca: Muara Tae).  Selama 2 minggu hidup bersama orang kampung, keduanya belajar banyak hal mengenai kerasnya kehidupan di kampung pedalaman, menginap di hutan, dan kesiapan menghadapi ancaman penghancuran hutan kecil yang tersisa di sana. 

Berikut cerita mereka, yang dituliskan oleh salah seorang dari mereka Ghonjess, berjudul "Bersama Pejuang di Muara Tae".  Penulisnya telah lebih dahulu mem-posting tulisan ini di blog Jawa Kulon.

------------------------------------------------

Tidak bisa berdiam diri dan selalu giat bekerja... begitulah kesan pertamaku... gesit dan cepat ketika berjalan di hutan. Cukup kesulitan mengingikuti beliau seharian mengelilingi hutan Muara Tae pada saat pemetaan batas luar... begitu pula ketika menyusuri anak-anak sungai di hutan utak Melinau.... dengan terus mengayun mandau sambil bersenandung dengan bahasa Dayak Benuaq jalur-pun terbuka untuk dilalui... memiliki pengetahuan identifikasi tumbuhan membuat beliau tak salah tebas pada tumbuhan yang memiliki daya guna... perjalanan terasa menyenangkan... apalagi beliau paham seluk beluk hutan... mengetahui kegunaan dari banyak tumbuhan yang ada... untuk bangunan, untuk upacara adat, untuk obat, untuk perekat hulu mandau, untuk lembing tombak, untuk tali pengikat, untuk budidaya, untuk jerat, untuk racun, dsb... pendek kata beruntung bisa sempat blusak blusuk di hutan bersama beliau... menjadikan alam yang membentang sebagai guru...

Meskipun sudah sepuh beliau memiliki fisik kuat dengan stamina mumpuni... terseok-seok ketika harus mengimbangi beliau memikul kayu ulin yang akan dijadikan tiang-tiang pondok jaga... pada saat hampir menyerah, beliau terus memberi semangat... "ayoo dikit lagiii... udah lebih ringan... airnya udah banyak yang keluar"... kami tetap tak bergerak, terduduk di akar pepohonan yang ada... setelah kuperiksa, ternyata benar... ada air keluar dari pangkal kayu... tapi hanya beberapa tetes...hihihi.... setelah menghilang beberapa saat tiba-tiba beliau muncul dari arah bukit tempat pondok berada. "minum dulu biar kuat" ucapnya sambil menyodorkan air berwarna ungu yang ternyata kuku bima energi jreeng.... hahaha.. spontan aku dan Kosar tertawa terpingkal-pingkal... "jangan tertawa teruus... nanti tambah lemas" teriaknya bersemangat. Tawa kami semakin menjadi...

Nyampe di pondok... "kalau mau kuat mikul kayu dan supaya tidak terasa sakit, yaa harus sering mikul kayu", begitu beliau berbagi kiat pada kami yang terengah ketika beristirahat... aku mengangguk setuju... karena beliau tidak sekedar bicara... aku menyaksikan sendiri buktinya... ketika nafas sudah sedikit lebih teratur, aku baru menyalakan sebatang rokok... tiba-tiba... "kita baru dapat satu tiang, masih butuh lima lagi" ucapnya... langsung lemas dengkulku... "memang tempatnya lebih jauh... tapi yang ini lebih kecil" ujarnya sambil bersemangat... (ternyata maksudnya tuh... meskipun lebih kecil, tapi lebih jauuuh dan jalannya turun naik lagii... hkhkhk..) huuh... akhirnya dengan susah payah kami mampu mengumpulkan 4 tiang dengan panjang 5-6 meter... kupikir semangat beliaulah yang membuat kami mampu.... "tiang yang ini keliatannya harus diganti... jadi masih kurang 3 tiang lagi".... hadaaaw...

aku penasaran, kenapa pondok harus diganti.... "pondok ini dibuat (pada tanggal 15 Mei 2009) secara tergesa-gesa, soalnya pondok sebelumnya dirobohkan oleh orang... entah siapa?... jadi kita cari tiang-tiang ulin yang panjang supaya pondoknya lebih tinggi, kuat dan tahan sampai 50 tahun" ujarnya... walaah... Begitu panjang semangat beliau... membuat ciut yang punya semangat cuma 2 mingguan... bah... bahkan untuk 2 minggupun sulit...

Pak Asuy namanya... warga kampung Muara Tae... orang yang selalu gelisah dengan hadirnya ketidakadilan... perkebunan kelapa sawit dan perusahaan tambang begitu kasat mata merebut, mengepung dan mengancam tanah - hutan mereka... 12 tahun yang lalu pernah mengungsi ke hutan selama 3 bulan akibat sikap perlawanannya,... nyawa mereka terancam.... bersama keluarga dan warga lainnya mereka hijrah meninggalkan kampung... mereka memilih hutan untuk mendapatkan perlindungan... hanya hutanlah pada saat itu yang dapat melindungi mereka... hanya hutanlah yang bisa dipercaya..

kini mereka sudah tinggal di kampung lagi... berharap dapat teman yang mau bersama mempertahankan tanah dan hutan yang tersisa....

Jumat, 17 Juni 2011

Bukan Galia?

ANTARA GALIA dengan tempat ini memang punya kesamaan. Sama-sama diterangi api bila gelap menjelang, sama-sama pakai kayu untuk bikin rumah dan sama-sama bertelanjang dada. Yang lainnya, sama-sama ngotot!

Posting ini dituliskan oleh seorang teman yang sering berkunjung ke Muara Tae. Ia telah mem-posting tulisan yg sama sebelumnya di blog pribadinya Babakanblog.

————————————————

Mana ada orang Galia di sini? Ada kok!

Ambrosius Ruwindrijarto, Ghonjess dan M. Kosar, yang bergantian suka menulis di blog Lati Tana Adat Takaaq, bilang begitu. Mereka bilang ketemu Asterix, Obelix, Abraracourcix, dan orang-orang Kampung Galia di Muara Tae. Mereka ini tidak takut dengan buldozer-buldozer, serdadu-serdadu, tambang-tambang, HTI-HTI, perkebunan sawit PT Borneo Surya, PT Gunung Bayan, PT Petrosea, PT Lonsum, PT Tri Tunggal Group, PT Munti Wani, yang semuanya datang mengepung. Yang mereka takuti cuma langit yang runtuh.

Orang Galia di situ tidak juga peduli kalau kampung lain sudah kalah dan menyerahkan kebun dan hutannya.  Mereka ini tetap aja ngotot, pokoknya jangan ganggu kampung dan hutan adat kami!

Padahal orang Galia yang sebenarnya sih sudah kalah, setelah benteng mereka dikelilingi oleh barikade tentaranya Julius Caesar yang mencegah bangsa Gallia mendapat makanan dari luar. Mereka juga ngotot dan bertahan dengan gigih. Romawi butuh tujuh tahun menaklukkannya. Perang Galia itu berlangsung dari tahun 58 – 51 SM. Wilayah Galia saat itu adalah apa yang kini dikenal sebagai Italia bagian utara, Prancis, Belgia, Swiss bagian barat, sebagian barat dari wilayah Belanda dan Jerman di barat Sungai Rhein.

Tapi Muara Tae kan bukan Galia?

“Muara Tae itu Dayak, Pak! Dayak Banuaq Ohokng Sanggokng yang pantang menyerah,” Andreas Sikngo, yang mantan petinggi adat di situ bercerita dengan berapi-api, meski usianya sudah mendekati tiga perempat abad.

Ia bilang kalau suku bangsa Dayak ini dulunya kala tinggal berkelompok di dalam Lamin Sanggokng, sebuah rumah panjang berisi puluhan keluarga, di tepi Sungai Nayan, tepatnya di muara Sei Sanggokng, anak Sei Nayan. Kampung mereka kira-kira se-zaman dengan masa Kerajaan Kutai.



Mereka dianggap pembangkang oleh kerajaan Kutai gara-gara kerap melakukan gerakan Arakng Dodo, tradisi adat local yang dianggap anti kepercayaan Hindu. Raja Kutai memaksa pemindahan mereka di kota Tenggarong, dekat pusat kerajaan, biar mudah diawasi dan dibaurkan dengan kehidupan Kutai lainnya.

Kelompok ini tak binasa meski mendapat hukuman itu. Empat puluh tujuh tahun berikutnya mereka kembali. Sialnya, kelompok suku bangsa Dayak Banuaq lainnya yang berasal dari Lamin Murukng Iyuq sudah menduduki Sanggokng. Lalu terjadi negosiasi. Hasilnya Lamin Sanggokng bisa kembali, tapi tidak dengan hatra benda yang tertinggal empat decade lalu, dan kelompok Lamin Murukng Iyuq kembali ke asalnya, di tepi Sungai Kelawit.

Saat ini di tepi Sungai Kelawit yang itu sudah berdiri dua kampung Dayak, Ponak dan Kenyanyan.

Kampung Ponak juga dihuni suku bangsa Dayak Banuaq yang punya wilayah kelola di sepanjang Sungai Ponak, anak Sungai Kelawit. Di sini masih punya tradisi orang tinggal di dalam lamin oleh para tetua dan sanak keluarganya, meski warga yang lain sudah mulai banyak punya rumah tunggal untuk masing-masing keluarganya.

“Kepala adat di sini bentrok dengan Pak Petinggi kampung,” Yahya Losen, yang ketua RT 2 di kampung Ponak bilang bilang itu. Konflik kepentingan sedang terjadi antara kepala kampung dengan kepala adat berkaitan dengan besaran uang kompensasi dari PT. Borneo Surya Jaya Mining (BJSM), meskipun kedua belah pihak setuju atas datangnya perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Terdapat 300 hektar di kampung ini yang sudah disetujui pejabat kampung untuk masuk ke dalam area PT. BJSM. Besaran uang yang diberikan PT. BJSM adalah Rp. 300 ribu per hektar sebagai biaya ganti rugi atas hak kelola masyarakat. Hak kelola adalah kawasan berladang masyarakat yang tidak bisa ditunjukkan surat-surat kepemilikannya, surat yang disyahkan oleh para tetua adat kampung.

“Tapi ada ganti yang 600 ribu, yang maunya masuk langsung ke kepala adat,”

PT. BJSM juga menawari Rp. 600 ribu per hektar sebagai biaya ganti rugi hak waris masyarakat. Hak waris artinya kawasan berladang dan hutan masyarakat yang ditunjukkan dengan bukti surat-surat kepemilikan. Di sinilah kepala adat punya wewenang, dan dengan mentang-mentang ia merasa punya hak atas uang yang ini. Petinggi Kampung meradang. Ia tidak setuju itu masuk begitu saja ke saku kepala adat.

“Saya juga sama kesalnya dengan ulah kepala adat,” Rubin yang warga Kampung Ponak RT 1 itu senada dengan Losen. Ia dan puluhan orang lainnya, yang mengelola lebih dari 500 hektar hutan adat dan peladangannya, dirugikan oleh tingkah polah kepala adat itu, karena enam puluh satu hektar tanahnya dirampas dan dijual kepada PT. BJSM.

Kampung Kenyanyan ternyata juga sama curiganya sama PT. BJSM. Dadau, yang kepala kampung ini ingat betul bahwa PT. BJSM belum pernah memberitahukan rencana kehadirannya. Samar-samar di warung kopi sih ia pernah dengar niat PT. BJSM untuk masuk ke kampungnya. Mereka bahkan sudah menyusun rencana untuk bicara secara formal kepada kepala kampung, yang katanya diadakan pada minggu-minggu setelah paskah 2011. Tapi sekarang mana?

“Kalau mau masuk, ya terserah warga saja, mau diterima atau ditolak,”

“Saya setuju kok ada LSM memantau kebun sawit,”

Ia cuma minta pada PT. BJSM agar mengajak warganya melakukan studi banding dulu ke tempat-tempat yang telah dibangun kebun sawit, mulai dari lokasi yang baru penanaman, hingga yang sudah beroperasi.

Nah, kalau sudah begini ceritanya kan makin terang. Kalau mau menang Muara Tae tidak bisa berjuang sendiri. Pelajaran dari kekalahan Galia yang terlalu pe-de sorangan wae mengajarkan pentingnya membangun persatuan luas anti-perampasan tanah dengan kampung lainnya untuk confront dengan PT. BJSM selaku tuan tanah tipe baru. Muara Tae, Ponak, Kenyanyan, ditambah dengan Lambonah, Pentat, Muara Nayan sudah sepatutnya membangun kerjasama.

Biar Ambrosius Ruwindrijarto, Ghonjess dan M. Kosar makin nyata diilhami oleh kegigihan orang Dayak. Siapa tahu mereka mau bikin cerita bergambar heroik tentang Muara Tae. Seperti orang Gallia yang mengilhami kartunis René Goscinny dan Albert Uderzo menciptakan tokoh Asterix dan Obelix.

Rabu, 15 Juni 2011

Membangun Pondok Jaga Hutan (selanjutnya)

Posting ini kami tampilkan dari sebuah tulisan singkat mengenai perkembangan terbaru para tim relawan Telapak yang saat ini berada di Kampung Muara Tae.

------------------------------------------------------------------

Muara Tae, Selasa 14 Juni 2011

Kemaren selama seharian kami membantu pendirian pondok jaga di areal hutan/ladang yang dikelola Pak Saydan. Lokasinya persis berseberangan dengan areal landclearing PT. BJSM dan camp para pekerjanya, kira-kira 200 meter jauhnya.

Kelompok gotong royong itu dipimpin Pak Asuy dan Pak Saydan sebagai wakilnya. Selain Karno, Jean dan Panji, Pak Atang, yang berdomisili di Samarinda Utara sebagai petani sayur & padi-sawah, juga turut serta membantu.

Pandang-pancang pondok telah didirikan dengan memanfaatkan pohon akasia yang tumbuh liar di situ, rupanya ia berasal dari biji-bijian pohon sejenis yang ditanam perusahaan HTI di sekitar situ. Bentuk pondok adalah rumah panggung, kira-kira dua meter dari tanah, dan tersamarkan oleh keliaran semak belukar, yang menguntungkan bagi kita karena sulit dilihat dari arah camp pekerja. Tapi sebaliknya. Mereka mudah kami lihat dari sini.

Hari ini, Selasa 14 Juni 2011, kelompok itu akan melanjutkan pekerjaan pondoknya, dengan tambahan bala bantuan dari Pak Sinkngo & Ismail anaknya. Para kerabat Pak Saydan juga turut berperan serta, meski tak berbentuk tenaga melainkan dukungan finansial. Tak apalah. Tokh finansial diperlukan untuk melengkapi pendirian pondok, membeli seng untuk atap, menambahi paku dan peraltan kerja lainnya.

Sementara para relawan Telapak tetap melaksanakan rencana semula.  Bahwa ukuran keberhasilan penyadaran di kampung diorientasikan pada dua hal besar,
  1. Memobilisasi mereka dalam kerja gotong royong pendirian pondok-pondok jaga dalam kelompok gotong royong, khususnya di hutan/ladang yang berbatas langsung dengan areal landclearing PT. BJSM. Disamping segi bergotong-royong, diskusi kritis penyadaran juga patut diselenggarakan di tengah istirahat kegiatan pembangunan pondok.
  2. Bila untuk yang (poin 1) mereka tak bisa terlibat aktif karena kesibukan kerja dari setiap keluarga, setidaknya mereka turut bersetuju atas petisi yang disusun untuk memepertahankan hutan/ladang & menolak perampasan tanah PT. BJSM.
Maka, kami tetap membagi dalam 2 tim yang saling berkoordinasi dengan ketat, agar informasi di atas/hutan dan di bawah/kampung dapat terdistribusi dengan baik.

Kamis, 09 Juni 2011

Muara Tae 10

Mengakhiri perjalanan ke Muara Tae, dengan lesson learned yang ada aku bermaksud menawarkan saran dan tips berikut ini bagi siapapun yang bermaksud berkunjung, berwisata, berperang, berliburan ke Muara Tae:
  1. Membangun saling kepercayaan dengan masyarakat setempat.  Hal ini sangat penting karena di daerah ini tidak ada ATM atau fasilitas debet sehingga apabila kita kehabisan uang kita harus bisa meminjam dari orang-orang galia Muara Tae itu.  Tapi dalam hal ini juga harus hati-hati karena kita bisa masuk ke dalam jebakan utang.  Contohnya waktu aku membayar utang Rp 100 ribu ke Beliau itu, dia malah kembalikan Rp 40 ribu. Berarti yang waktu sebelumnya aku minum beberapa gelas madu di rumahnya itu belum terbayar lunas.  Padahal madu itu adalah madu paling enak sedunia, warnanya seperti bimoli dan harganya Rp 200 ribu per liter.
  2. Memahami (atau pura-pura tertarik pada) ilmu-ilmu biologi atau antropologi.  Soalnya mereka itu punya kebiasaan tiba-tiba menunjuk sesuatu dan menjelaskan namanya dalam berbagai bahasa, manfaatnya, sejarahnya, kegunaannya untuk adat, legendanya, roh penunggunya, dan seterusnya. Mereka mungkin akan tersinggung atau curiga kalau kita tidak menunjukkan ketertarikan (wajar sih sebenarnya karena sudah capek jalan) dan mencatatnya di buku-buku tulis kecil yang kita bawa kemana-mana itu.
  3. Harus cool dan bisa pasang “poker face”.  Ini penting supaya kita tidak dianggap kagetan atau gumunan (mudah terkejut) atau gampang naik darah.  Jadi apabila mereka bilang “jalan kakinya 2 jam saja” atau “jaraknya hanya satu kilo meter kok” kita harus tetap tenang, cool, dan tidak menunjukkan kekhawatiran, ketakutan, atau bahkan kemarahan karena kenyataannya tidak seperti itu.
  4. Harus lucu.  Alasannya begini: sudah setiap hari orang-orang yang datang ke mereka, yaitu dari perusahaan, dinas-dinas pemerintah, polisi, babinsa, surveyor, konsultan, dan lain-lain selalu bertampang serius dan bicara tentang hal-hal yang menyeramkan seperti bongkar hutan atau gusur kampung atau penjara atau uang bermilyar-milyar atau pilkada.  Jadi kalau kita juga datang dengan tampang serius dan profesional maka bisa-bisa mereka mengusir kita dan berkata, “buat apa datang kalau tidak ada perubahan.”
  5. Harus pintar nyanyi.  Soalnya mereka suka mengikat orang yang nyanyi dengan nada sumbang di pohon depan rumah.  Namanya juga orang galia Muara Tae...
  6. Harus kuat makan.  Mereka ini kurus-kurus, jadi mereka suka tersinggung kalau tahu ada orang yang ikut program diet karbohidrat, diet berdasarkan golongan darah, diet lemak, atau diet apapun.
  7. Kalau bisa yang datang adalah yang berkacamata.  Kalau ini adalah supaya tidak terlalu ketahuan apabila ketiduran atau ngalamun saat mereka bicara panjang-panjang tanpa nada tanpa pangkal tanpa ujung sampai larut malam.
  8. Simpan lagu-lagu remaja masa kini di HPmu.  Ini terutama bila yang datang masih lajang.  Ini akan sangat menyenangkan dan bisa mengambil hati gadis-gadis remaja di sana (SD sampai SMA).
  9. Harus sering mandi.  Klulut, serangga yang terbang dan banyak sekali di hutan, suka sekali dengan bau keringat. Istilahnya: You just won’t survive klulut!
  10. Harus bisa melihat dalam kegelapan.  Hal ini berlaku baik secara literal, yaitu supaya tidak nabrak-nabrak atau tersandung di malam-malam tidak ada listrik, maupun secara non-literal, yaitu supaya kita bisa melihat hal-hal yang lucu dan menyenangkan di dalam situasi yang penuh kesedihan atau kesuraman, dan menemukan terobosan-terobosan baru di dalam persoalan yang seperti tidak ada solusinya.
  11. Berkaitan dengan baterai HP atau laptop, saya menyarankan tidak usah buru-buru beli yang bagus dan tahan lama karena toh sebentar lagi kita akan beli genset kecil itu.
  12. Jangan mau kalau ditawari nyetir motor.  Orang-orang galia Muara Tae ini ada kecenderungan menjadikan “jatuh dari motor” sebagai berita besar yang diketahui seluruh kampung bahkan kabupaten.
  13. Jangan mau kalau diminta mendatangi camp perkebunan sawit.  Aku curiga mereka sengaja mengerjain soalnya mereka happy banget ndengerin orang jawa medok bicara dengan orang jawa medok lainnya.
  14. Jangan terlalu banyak keluarkan gagasan, rencana atau informasi yang penting.  Hal ini didasari pada kecurigaanku yang belum terjawab tentang laptop Pak Petinggi, baterainya tahan lama sekali dan fasilitas atau kemampuan-kemampuan lain laptop itu masih sangat misterius.
Catatan:
Setelah yang ini aku berharap bisa menulis yang serius, sistematis, penuh kemampuan manajerial dan leadership, soalnya kemarin-kemarin selama di Muara Tae harus berusaha keras agar lucu dan senang, mengingat lesson learned di atas.

Selasa, 07 Juni 2011

Muara Tae 09


Program Terpadu Pembangunan Jalan dan Penciptaan Lapangan Kerja

Pembangunan jalan di Kabupaten Kutai Barat dipadukan dengan penciptaan lapangan kerja, khususnya bagi para pemuda dayak setempat. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa orientasi pembangunan pada sektor pertambangan dan perkebunan selama ini telah mengakibatkan pengangguran besar-besaran di kelas masyarakat setempat. Diperkirakan bahwa paling banyak hanya 10% dari tenaga kerja di perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan yang berasal dari masyarakat setempat. Sebagian besarnya adalah pekerja pendatang dari Sulawesi, Jawa, Sumatra, dan Flores. Padahal pembangunan pertambangan dan perkebunan tersebut telah menghilangkan mata pencaharian dan sumber-sumber penghidupan masyarakat setempat, yaitu dengan hilangnya kebun, hutan dan ladang. Dalam kondisi tersebut, pembangunan jalan menciptakan lapangan kerja baru bagi para pemuda setempat, yaitu menjadi pemungut uang receh di setiap bagian jalan yang berlubang-lubang, berlumpur, dan rusak. Setiap kendaraan yang lewat membayar antara Rp 500 sampai Rp 1000 kepada kelompok pemuda yang berjaga di titik jalan yang rusak tersebut. Kadang-kadang para pemuda tersebut memperlihatkan sekop atau pacul sebagai justifikasi, tapi seringkali juga hanya sekedar berdiri di pinggir atau tengah jalan dan memungut bayaran receh ini. Dengan perkiraan panjang jalan antara Samarinda sampai Melak adalah sekitar 350 km, dan apabila pos pungutan jalan rusak ini didirikan setiap 5 m, dan apabila setiap pos pemungutan ditenagakerjai oleh 3 orang pemuda, maka lapangan pekerjaan yang tercipta adalah sebanyak 350.000 meter dibagi 5 meter dikali 3 pemuda: 210.000 tenaga kerja. Apabila setiap pos pungutan ditenagakerjai dengan dua shift, siang dan malam, maka profesi ini bisa menyerap 2 X 210.000 = 420.000 tenaga kerja. Konsep yang brilian!!!

Senin, 06 Juni 2011

Muara Tae 08

Menjaga Hutan dan Mata Air sebagai Sumber Penghidupan

Ternyata ada sebuah rahasia di balik semua keheroikan orang-orang galia Muara Tae ini untuk menjaga kawasan dan hutan adatnya.  Rahasia ini terbongkar saat ngobrol-ngobrol dengan Pak Petinggi, sebagai berikut:

Pak Petinggi: Begini, Mas... Sebetulnya ada sebuah rahasia yang saya mau ceritakan. 
Aku: Apa Pak? 
Pak Petinggi: Sebenarnya kami punya sebuah rencana bisnis yang luar biasa dan berjangka panjang.  Tapi Mas harus bisa rahasiakan ya.. supaya tidak ketahuan sama para pesaing. 
Aku: Iya lah, Pak.  Pasti saya rahasiakan. 
Pak Petinggi: Jadi begini, Mas.  Kan semua lahan di sekitar kampung kita ini sudah habis untuk tambang dan perkebunan kelapa sawit, jadi pasti tidak lama lagi mereka semua akan kesulitan air. 
Aku: Terus? 
Pak Petinggi: Nah, begitu, Mas.... Makanya kami mau jaga hutan ini dan mata air-mata air.  Jadi nanti kita akan bikin perusahaan penyedia air, seperti Aqua gitu.  Pasti akan laku keras dan mereka semua akan beli dari kita.
Pak Petinggi: Kan mereka tidak bisa minum air bekas tambang, atau memeras TBS jadi air minum.  Pasti sungai-sungai dan mata air-mata air mereka akan kering kerontang. Kita akan suplai air dan jadi perusahaan raksasa seperti Danone.
Pak Petinggi: Tapi jangan bilang-bilang ya...jangan sampai mereka tahu dan ikut-ikutan jaga hutan dan lestarikan mata air.  Kita gak mau ada pesaing dalam bisnis ini.



Itu ternyata rahasia di balik semua ini.  Aku menduga itu juga sebabnya Pak Petinggi ini tidak pernah mau lepas dengan laptopnya.  Di sana rupanya juga tersimpan berbagai informasi dan intelijen bisnis yang sangat sensitif.  Bahkan sampai sekarang aku belum berhasil mengetahui merek dan tipe laptopnya itu.  Misterius sekali.  Aku jadi khawatir laptop itu memang luar biasa dan bahkan bisa menyadap pembicaraan-pembicaraan dan langsung merekamnya dan mentranskripnya dan menyusunnya menjadi Rencana Strategis atau Business Plan.  Aku jadi turut hati-hati dan menyembunyikan buku catatan kecil yang selalu kubawa-bawa layaknya seorang pemerhati dan aktivis yang baik dan benar.

Aku sebetulnya agak skeptis dengan rencana rahasia ini karena kalau mau menyaingi PT Danone Aqua itu mereka setidaknya harus punya hutan seluas gunung salak di bogor.  Di sini kalau dikumpul-kumpul paling-paling mereka hanya bisa pertahankan dan kelola beberapa ratus hektar.  Tapi aku tidak mau mengecilkan hatinya maka aku mengangguk-angguk dan memberi semangat, "Wah...bagus sekali itu, Pak".  Memang selama di Muara Tae ini aku tidak merasakan mereka punya masalah dengan air bersih.  Sungai Melinau dan sungai-sungai lain dan banyak sekali anak sungai memang masih mengalir dengan jernih.  Aku sempat minum langsung dari salah satu mata air di hulu Sungai Melinau dan rasanya memang jauh lebih segar dan nikmat daripada Aqua.  Tapi... ide bisnis mau menyaingi Danone dan mensuplai air ke seluruh kampung, kecamatan, dan kabupaten ini rasanya agak terlalu bombastis deh.  Ini jadi pelajaran berikutnya: Hati-hati dengan orang-orang galia Muara Tae ini, kadang-kadang mereka ini bombastis banget!

Muara Tae 07

Aku semakin curiga bahwa Assuransetourix-nya ini adalah Pak Asuy.  Soalnya dia ngomong tanpa putus tanpa nada tanpa ujung tanpa pangkal rasanya berjam-jam lamanya.  Mungkin 5%nya aku mengerti.  Terus kudengar bisik-bisik orang di sebelahku tentang tali.  Untung mereka nggak jadi ngikat Pak Asuy di pohon depan rumah.

Mungkin juga sebenarnya aku yang lagi kurang pendengaran soalnya pembicaraan orang-orang lain juga hanya kumengerti paling banyak 10%nya.

Ngomong-ngomong tentang persen, dalam rapat tadi aku berhasil memastikan bahwa logo telapak di seragam itu akan dinilai sebesar 50% dari biaya membuat seragam kelompok penjaga dan pengelola hutan.  Beberapa dari orang-orang galia Muara Tae ini gak setuju karena menurut mereka telapak harusnya hanya membayar senilai 20%, paling banyak 25% dari biaya pembuatan kaos. Mereka berargumen bahwa brand telapak belum punya market acceptance yang baik.  Bahkan sebetulnya belum teruji melalui “market research” untuk konsumen di Kabupaten Kutai Barat, apalagi dengan kenyataan bahwa dalam hal ini bakal ada diversifikasi produk dengan brand tersebut.  Inilah susahnya dengan globalisasi karena ilmu-ilmu marketing dan advertising yang canggih-canggih pun sudah sampai ke pelosok-pelosok kampung.  Aku hampir menyerah tapi akhirnya seseorang intervensi dan mengatakan bahwa anggap aja ini uji coba dengan catatan bahwa memuat logo telapak dengan membayar senilai 50% dari biaya pembuatan seragam itu sebenarnya over-valued.  Seragam yang akan dibuat akan berwarna hitam atau hijau, dengan tulisan besar-besar nama kelompok penjaga dan pengelola hutan Muara Tae ini dalam bahasa Benuaq.  Aku nggak nangkap kata-kata bahasa Binuaq itu tapi artinya kira-kira adalah penjaga dan pengelola hutan adat yang dulu ada menjadi tiada kemudian ada lagi (atau kebalik ya: dari tiada menjadi ada menjadi tiada, atau dari tiada menjadi ada menjadi tiada menjadi ada, atau jangan-jangan ada dan tiada hanya kata semata....sampai di sini aku mungkin sudah terlalu ngantuk).

Kesimpulan lainnya dari rapat tadi adalah akan dibuat pesta adat untuk meresmikan pondok-pondok jaga hutan.  Diharapkan pada bisa hadir, terutama yang kuat-kuat soalnya jalannya jauh, makanannya banyak, minumannya keras-keras.

Ungkapan-ungkapan lain yang samar-samar kuingat adalah:

Pak Mantan Ketua Adat: “selama ini kami belum ketemu pintu untuk masuk, tangga untuk naik, jembatan untuk melintas”

Ibu Maria Apung (78 th): “kalau hutan, saya sayang sekali”

Saipul (asli Benuaq): “kita harus segera melakukan “political legwork”nya, terutama dengan target kepala adat, BPK, camp baru, bupati”

Minggu, 05 Juni 2011

Muara Tae 06

Hati-hati sama orang galia Muara Tae ini.  Mereka suka bilang jalannya hanya 2 jam padahal kenyataannya 6 jam...  Seperti tadi seharian jalan menerobos hutan-hutan Muara Tae, mengikuti anak sungai, mengunjungi mata air yang katanya tak pernah kering meskipun kemarau, menyusuri lereng-lereng bukit (mereka biasanya panggil itu gunung), sampai ke perbatasan hutan.  Katanya hanya satu kilo meter, padahal pasti jauh jauh lebih jauh....wong berjam-jam kok.

Betewe, sampailah kami di perbatasan hutan, dan seperti langit dan bumi, segera terhampar pemandangan berupa bukit-bukit yang telah terkelupas, buldozer yang tengah bekerja, dan matahari yang rasanya ada lima.  Selamat kepada PT Borneo Surya Mining Jaya yang dengan jaya telah membongkar tiga bukit itu hanya dalam waktu dua minggu.  Dua minggu lalu waktu Fatra dan Pudho patroli ke sana, bukit-bukit itu masih hutan.  Sekarang bukit-bukit itu sudah bukan hutan.  Menurut Pak Petinggi yang laptopnya tahan lama itu, dengan terbongkarnya tiga bukit itu berarti perusahaan ini telah melanggar batas kampung, karena menurut orang-orang galia Muara Tae, batas kampungnya adalah persis di puncak bukit.  Bukit-bukit itu telah terkelupas habis sampai ke kaki bukit di sebelah sini.  “Yah...gimana lagi... kita sudah terlanjur kehilangan setengah kali tiga bukit,” kata Pak Petinggi dengan bijaksana.


Tapi dasar Ghonjess dan Kosar itu orang-orang tidak sabaran dan tidak mengerti strategi, mereka segera mengenakan kostum perang dengan topi baja dari daun biru’ dan menyambar senjata berupa tongkat kayu sejenis meranti (yang bahkan tidak lancip) dan segera merangsek maju mau menghadang buldozer.  Untunglah, Pak Petinggi dengan bijaksana mengatakan bahwa di laptopnya sudah tersusun strategi yang lebih mantap dan pasti efektif efisien, seperti: melakukan pengorganisasian masyarakat, melakukan pemetaan partisipatif, menyelenggarakan upacara adat untuk memastikan pengakuan dan perlindungan kawasan adat, mengirim surat-surat yang diperlukan kepada pihak-pihak yang memerlukan maupun yang tidak memerlukan, membangun community logging, menggalang kekuatan politik dan sosial dan ekonomi, melakukan investigasi dan studi-studi, melancarkan advokasi kebijakan, menggali sejarah persoalan, pendidikan hukum kritis, melakukan pelatihan resolusi konflik, dan lain-lain.  Akhirnya, setelah memperoleh pencerahan secukupnya, dua anggota pasukan elit (mungkin terinspirasi US SEALs yang sukses menyerbu Osama) ini tidak jadi melakukan serangan frontal dan puas dengan foto-foto bersama (keterangan: foto-foto tersebut akan dimuat menyusul).  Syukurlah, perjuangan hari ini setelah direkapitulasi hanya menimbulkan korban berupa lecet-lecet di tumit (karena lupa pakai handiplast), lecet-lecet di betis (karena pakai celana pendek), lecet-lecet di punggung (karena kesabet rotan).

Ini memang sungguh serius.  Perjuangan ini akan panjang dan melelahkan.  Stamina harus prima.  Beras tidak boleh pernah habis.  Penggalangan dukungan harus luas dan dalam.  Dari segi sumber daya, untuk tahap awal, telapak telah memastikan akan berkontribusi berupa satu buah genset kecil, 450 watt saja, supaya setiap saat kita bisa mencharge HP dan laptop pada saat kita sedang melakukan penjagaan hutan di pondok-pondok jaga hutan di Muara Tae.  Hal ini dipandang sangat penting mengingat tidak semua orang punya HP atau laptop yang baterainya tahan berjam-jam bahkan berhari-hari.

Rencana besok hari adalah melanjutkan pemetaan batas luar kawasan Muara Tae.  Ini mungkin perlu dua atau tiga hari dan harus menginap di hutan.  Setelah itu direncanakan pula untuk memperbaiki dan merapikan pondok jaga karena sekarang belum ada rak-raknya sehingga pakaian disimpan sembarangan dan jadi kusut dan barang-barang lain berhamburan seperti situasi darurat perang aja.

Malam ini rencananya mau kumpul-kumpul dengan orang-orang galia Muara Tae ini di rumah Pak Asuy.  Saya bersyukur ada undangan kumpul-kumpul begini soalnya kemarin waktu belanja bahan makanan saya utang 100 ribu sama salah satu dari orang-orang galia Muara Tae ini.  Dengan undangan ini beliau itu pasti akan datang jadi saya bisa bayar utang.  Kalau sepengetahuanku, Pak Asuy dan Pak Petinggi mau mengagendakan evaluasi kegiatan dan RTL (rencana tindak lanjut?, semacam itu lah).

Di dalam hutanku di Muara Tae masih mengalir darah
Sunge namanya, mata air asalnya


Di dalam hutanku di Muara Tae masih berdiri tegak ke langit
Ulin, meranti, nancang, tae, gaharu, kapur, watu’, jematuk, njapmpulau


Di dalam hutanku di Muara Tae masih berkeliaran
Kijang, babi, rangkong, landak, klulut, monyet,  beruk, rusa, beruang


Di dalam hutanku di Muara Tae masih ada
Aku, kamu, dan siapa saja yang mau ada di sini
Di seberang sana batas hutan
Tinggal tanah-tanah telanjang berwarna merah dan kuning
Buldozer-buldozer berwarna merah dan kuning
Double cabin-double cabin dengan bendera merah dan kuning.
foto di atas diunduh dari laman aslinya di sini.

Muara Tae 05

Malam ini kami tidur di Pondok Jaga Hutan, garis depan pertahanan Muara Tae.  Pondok kayu ini berada di ketinggian bukit.  Pohon-pohon besar mengitarinya.  Waktu sunset tadi ada terselip sedikit di antara ranting-ranting matahari bulat merah.  Kosar sedang memasak makan malam: nasi dan ikan asin.  Para pemuda Muara Tae pada bertebaran di sudut sudut pondok dan seputaran api unggun.  Ada suara khas tengah hutan, jengkerik atau berbagai macam serangga itu lah.

Malam ini orang-orang pada rapat untuk merencanakan kegiatan perintisan dan pembuatan batas yang akan dilakukan esok hari.  Mereka nampak bersemangat.  Tadi siang kudengar-dengar Petinggi Kampung mendraft surat tentang hal ini, mungkin akan dikirimkannya ke kampung-kampung tetangga, perusahaan-perusahaan, badan-badan pemerintah.  Aku terkesan sama laptopnya yang baterainya tahan lama banget, gak mati-mati dari tadi.  O ya...sudah dua minggu genset di sini rusak.

Masukan paling lucu hari ini:

Kutipan dari Ghonjess, 2011: “tindakan strategis paling buruk adalah membuat rencana strategis.”

Sabtu, 04 Juni 2011

Muara Tae 04

LITANI DEBU



Sesiangan aku duduk di kayu rebah di pinggir jalan

Di tikungan Muara Tae

Dan melintaslah

Ford Ranger double cabin, Debu beterbangan

Toyota Hi-Lux double cabin, Debu beterbangan

Ford Everest, Debu beterbangan

Kijang Innova, Debu beterbangan

Truk Engkel muatan sawit, Debu beterbangan

Nissan X-Trail, Debu beterbangan

Nissan Navarra double cabin, Debu beterbangan

Mistubishi D-Max, Debu beterbangan

Truk Tronton 20 roda angkut buldozer, Debu beterbangan

Ford Ranger yang lain lagi, Debu beterbangan

Toyota Hi-Lux yang lain lagi, Debu beterbangan

Ford Everest yang lain lagi, Debu beterbangan

Kijang Innova yang lain lagi, Debu beterbangan

Truk sawit yang lain lagi, Debu beterbangan

Nissan X-Trail yang lain lagi, Debu beterbangan

Nissan Navarra yang lain lagi, Debu beterbangan

Mitsubishi D-Max yang lain lagi, Debu beterbangan

Truk tronton yang lain lagi, Debu beterbangan

AMIN ...

Muara Tae 03

Ghonjess,
Sesuai pesananmu dari pondok jaga jauh di hutan sana, garis depan pertahanan muara tae
Aku nanti akan bawakan:
Beras
Ikan asin
Minyak goreng
Paku sepuluh dan dua belas
Snack roti-rotian
Nutrisari
Kopimix
Lampu badai

Kata mereka dua jam jalan kaki ke sana...jadi moga-moga para pemuda adat ini masih kuat-kuat punggungnya.  Siapa tahu ada juga gitar yang bisa dibawa.

Have fun, stay away from conflict!

illustrasi gambar diunduh dari laman ini

Jumat, 03 Juni 2011

Muara Tae 02


Setelah kulihat-lihat dan banding-bandingkan, Pak Asuy, Ibu Laiyen, Pak Andreas dan orang-orang Muara Tae ini persis seperti Asterix, Obelix, Abraracourcix, dan orang-orang Kampung Galia itu deh.  Mereka hanya takut apabila langiit akan runtuh menimpa kepala mereka.  Mereka tidak takut meskipun kampung mereka ini sudah dikelilingi habis oleh buldozer-buldozer, serdadu-serdadu, tambang-tambang, HTI-HTI, perkebunan sawit PT Borneo Surya, PT Gunung Bayan, PT Petrosea, PT Lonsum, PT Tri Tunggal Group, PT Munti Wani.  Mereka tidak takut meskipun kerajaan romawi pemda Kutai Barat habis-habisan menekan mereka.  Mereka tidak khawatir meskipun seluruh Kalimantan sedang berubah menjadi padang debu dan semak-semak dan bongkaran tambang dan tunggul-tunggul dan serpihan hutan.  Mereka tidak khawatir meskipun tidak ada LSM-LSM manapun yang peduli atau mendampingi atau turut mengadvokasi atau apapun.  Mereka gak peduli bahwa kampung-kampung lain sudah pasrah dan menyerahkan kebun dan hutannya.  Mereka ini tetap aja ngotot: Pokoknya Jangan Ganggu Kampung dan Hutan Adat Kami.  Nampaknya mereka hanya takut apabila langit akan runtuh menimpa kepala mereka.  Makanya mereka kemarin tetap berpesta, potong babi dan ayam, makan minum, pasti ada yang nyanyi-nyanyi juga... Benar-benar mirip Kampung Galia itu. Bahkan serupa juga dalam hal suka sekali kelahi kelahi di antara mereka sendiri...terus pesta makan-makan sama-sama.

Hari ini aku akan jalan-jalan keliling kampung, siapa tahu bisa menemukan Idefix dan Assurancetourixnya Kampung Muara Tae.

gambar komik di atas disunting dari aslinya di laman ini.

Muara Tae 01

Malam kemarin
Aku tidur di hotel berbintang
Dengan koneksi internet super cepat
Hingga bisa conference call
Dengan orang Washington, Paris, Jakarta
Mau makan tinggal angkat telepon
Pencet angka dua
Mandi air panas putar kran sedikit ke kanan

Malam ini aku tidur di lantai papan
Dengan bantal apak
Lampu minyak dekat jari kakiku
Dan nyamuk-nyamuk

Aku gak bisa tidur
Di rumah Pak Asuy dan Ibu Laiyen
Di Muara Tae

foto lampu minyak diunduh dari laman ini