ANTARA GALIA dengan tempat ini memang punya kesamaan. Sama-sama diterangi api bila gelap menjelang, sama-sama pakai kayu untuk bikin rumah dan sama-sama bertelanjang dada. Yang lainnya, sama-sama ngotot!
Posting ini dituliskan oleh seorang teman yang sering berkunjung ke Muara Tae. Ia telah mem-posting tulisan yg sama sebelumnya di blog pribadinya Babakanblog.
————————————————
Mana ada orang Galia di sini? Ada kok!
Ambrosius Ruwindrijarto, Ghonjess dan M. Kosar, yang bergantian suka menulis di blog Lati Tana Adat Takaaq, bilang begitu. Mereka bilang ketemu Asterix, Obelix, Abraracourcix, dan orang-orang Kampung Galia di Muara Tae. Mereka ini tidak takut dengan buldozer-buldozer, serdadu-serdadu, tambang-tambang, HTI-HTI, perkebunan sawit PT Borneo Surya, PT Gunung Bayan, PT Petrosea, PT Lonsum, PT Tri Tunggal Group, PT Munti Wani, yang semuanya datang mengepung. Yang mereka takuti cuma langit yang runtuh.
Orang Galia di situ tidak juga peduli kalau kampung lain sudah kalah dan menyerahkan kebun dan hutannya. Mereka ini tetap aja ngotot, pokoknya jangan ganggu kampung dan hutan adat kami!
Padahal orang Galia yang sebenarnya sih sudah kalah, setelah benteng mereka dikelilingi oleh barikade tentaranya Julius Caesar yang mencegah bangsa Gallia mendapat makanan dari luar. Mereka juga ngotot dan bertahan dengan gigih. Romawi butuh tujuh tahun menaklukkannya. Perang Galia itu berlangsung dari tahun 58 – 51 SM. Wilayah Galia saat itu adalah apa yang kini dikenal sebagai Italia bagian utara, Prancis, Belgia, Swiss bagian barat, sebagian barat dari wilayah Belanda dan Jerman di barat Sungai Rhein.
Tapi Muara Tae kan bukan Galia?
“Muara Tae itu Dayak, Pak! Dayak Banuaq Ohokng Sanggokng yang pantang menyerah,” Andreas Sikngo, yang mantan petinggi adat di situ bercerita dengan berapi-api, meski usianya sudah mendekati tiga perempat abad.
Ia bilang kalau suku bangsa Dayak ini dulunya kala tinggal berkelompok di dalam Lamin Sanggokng, sebuah rumah panjang berisi puluhan keluarga, di tepi Sungai Nayan, tepatnya di muara Sei Sanggokng, anak Sei Nayan. Kampung mereka kira-kira se-zaman dengan masa Kerajaan Kutai.
Mereka dianggap pembangkang oleh kerajaan Kutai gara-gara kerap melakukan gerakan Arakng Dodo, tradisi adat local yang dianggap anti kepercayaan Hindu. Raja Kutai memaksa pemindahan mereka di kota Tenggarong, dekat pusat kerajaan, biar mudah diawasi dan dibaurkan dengan kehidupan Kutai lainnya.
Kelompok ini tak binasa meski mendapat hukuman itu. Empat puluh tujuh tahun berikutnya mereka kembali. Sialnya, kelompok suku bangsa Dayak Banuaq lainnya yang berasal dari Lamin Murukng Iyuq sudah menduduki Sanggokng. Lalu terjadi negosiasi. Hasilnya Lamin Sanggokng bisa kembali, tapi tidak dengan hatra benda yang tertinggal empat decade lalu, dan kelompok Lamin Murukng Iyuq kembali ke asalnya, di tepi Sungai Kelawit.
Saat ini di tepi Sungai Kelawit yang itu sudah berdiri dua kampung Dayak, Ponak dan Kenyanyan.
Kampung Ponak juga dihuni suku bangsa Dayak Banuaq yang punya wilayah kelola di sepanjang Sungai Ponak, anak Sungai Kelawit. Di sini masih punya tradisi orang tinggal di dalam lamin oleh para tetua dan sanak keluarganya, meski warga yang lain sudah mulai banyak punya rumah tunggal untuk masing-masing keluarganya.
“Kepala adat di sini bentrok dengan Pak Petinggi kampung,” Yahya Losen, yang ketua RT 2 di kampung Ponak bilang bilang itu. Konflik kepentingan sedang terjadi antara kepala kampung dengan kepala adat berkaitan dengan besaran uang kompensasi dari PT. Borneo Surya Jaya Mining (BJSM), meskipun kedua belah pihak setuju atas datangnya perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Terdapat 300 hektar di kampung ini yang sudah disetujui pejabat kampung untuk masuk ke dalam area PT. BJSM. Besaran uang yang diberikan PT. BJSM adalah Rp. 300 ribu per hektar sebagai biaya ganti rugi atas hak kelola masyarakat. Hak kelola adalah kawasan berladang masyarakat yang tidak bisa ditunjukkan surat-surat kepemilikannya, surat yang disyahkan oleh para tetua adat kampung.
“Tapi ada ganti yang 600 ribu, yang maunya masuk langsung ke kepala adat,”
PT. BJSM juga menawari Rp. 600 ribu per hektar sebagai biaya ganti rugi hak waris masyarakat. Hak waris artinya kawasan berladang dan hutan masyarakat yang ditunjukkan dengan bukti surat-surat kepemilikan. Di sinilah kepala adat punya wewenang, dan dengan mentang-mentang ia merasa punya hak atas uang yang ini. Petinggi Kampung meradang. Ia tidak setuju itu masuk begitu saja ke saku kepala adat.
“Saya juga sama kesalnya dengan ulah kepala adat,” Rubin yang warga Kampung Ponak RT 1 itu senada dengan Losen. Ia dan puluhan orang lainnya, yang mengelola lebih dari 500 hektar hutan adat dan peladangannya, dirugikan oleh tingkah polah kepala adat itu, karena enam puluh satu hektar tanahnya dirampas dan dijual kepada PT. BJSM.
Kampung Kenyanyan ternyata juga sama curiganya sama PT. BJSM. Dadau, yang kepala kampung ini ingat betul bahwa PT. BJSM belum pernah memberitahukan rencana kehadirannya. Samar-samar di warung kopi sih ia pernah dengar niat PT. BJSM untuk masuk ke kampungnya. Mereka bahkan sudah menyusun rencana untuk bicara secara formal kepada kepala kampung, yang katanya diadakan pada minggu-minggu setelah paskah 2011. Tapi sekarang mana?
“Kalau mau masuk, ya terserah warga saja, mau diterima atau ditolak,”
“Saya setuju kok ada LSM memantau kebun sawit,”
Ia cuma minta pada PT. BJSM agar mengajak warganya melakukan studi banding dulu ke tempat-tempat yang telah dibangun kebun sawit, mulai dari lokasi yang baru penanaman, hingga yang sudah beroperasi.
Nah, kalau sudah begini ceritanya kan makin terang. Kalau mau menang Muara Tae tidak bisa berjuang sendiri. Pelajaran dari kekalahan Galia yang terlalu pe-de sorangan wae mengajarkan pentingnya membangun persatuan luas anti-perampasan tanah dengan kampung lainnya untuk confront dengan PT. BJSM selaku tuan tanah tipe baru. Muara Tae, Ponak, Kenyanyan, ditambah dengan Lambonah, Pentat, Muara Nayan sudah sepatutnya membangun kerjasama.
Biar Ambrosius Ruwindrijarto, Ghonjess dan M. Kosar makin nyata diilhami oleh kegigihan orang Dayak. Siapa tahu mereka mau bikin cerita bergambar heroik tentang Muara Tae. Seperti orang Gallia yang mengilhami kartunis René Goscinny dan Albert Uderzo menciptakan tokoh Asterix dan Obelix.
Jumat, 17 Juni 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 comments:
blom makin terang tuh, soale cara dgn gaya kyk gitu udh pernah mereka lakukan, dgn melibatkan lbh bnyk lg kampung lain.... skr lihat sndiri.. amblas... hanya tersisa sedikit tanah dan hutan di Muara Tae, mungkin ini yg mngingatkan perlawanan ala Galia yg ada di komik Asterix... hehehe...
Posting Komentar